Meski sudah lama menjadi camilan favorit masyarakat luas, ternyata
keripik singkong masih bisa menjadi mesin pencetak laba bagi pengusaha.
Dengan pemasaran gaya baru nan unik, produsen bisa mengantongi omzet
hingga miliaran rupiah.
Jelas, keripik singkong bukan jenis makanan baru bagi masyarakat
Indonesia. Tapi, akhir-akhir ini, pamor keripik singkong kembali
mencorong di kalangan remaja, tak kalah dibandingkan dengan potato chips, kebab,
donat, atau piza. Mungkin Anda pernah mendengar para remaja heboh
bercerita keripik singkong Maicih? Asal Anda tahu,
konon, omzet Maicih
mencapai Rp 4 miliar dalam sebulan.
Kesuksesan Maicih tentu memancing minat para pebisnis lain untuk
turut mencicipi gurihnya laba berjualan keripik singkong. Nah,
ternyata, sebagian pendatang baru ini juga sukses. Yana Hawiarifin,
produsen keripik pedas Karuhun dari Bandung, misalnya, mengaku mampu
mengantongi omzet
Rp 3 miliar per bulan. Ada lagi keripik singkong merek Kribo asal
Bekasi yang mulai masuk pasar Oktober 2011 lalu. Maulana, sang
produsen, mampu menjual keripik hingga senilai puluhan juta rupiah.
Apa rahasia kesuksesan penjualan camilan lama tersebut? Jawaban atas
pertanyaan ini cuma satu: strategi pemasaran nan unik dan kreatif.
Benar, lo, kecuali sedikit modifikasi rasa, sebetulnya nyaris tak
ada yang baru dari sosok keripiknya sendiri. Kehebatan keripik-keripik
populer ini dalam memikat pasar bukan pada produk, melainkan cara
pemasaran yang unik.
Pertama, tak seperti keripik singkong tradisional, keripik-keripik
modern ini memiliki gradasi rasa. Kribo, misalnya, menggunakan istilah
“zona galau” untuk menunjukkan tingkat kepedasan. Adapun tingkat
kemanisan ditunjukkan dengan “zona CLBK”. Jadi, jangan heran kalau
suatu saat Anda mendengar ungkapan “Kribo Galau Satu” atau “Kribo CLBK
Dua”. “Kata-kata ini sering dipakai anak muda jadi saya harap bisa
produk saya bisa cepat dikenal,” tutur Maulana.
Selain berkreasi dengan merek, mereka juga menggunakan strategi
pemasaran unik untuk ukuran makanan tradisional. Nyaris mustahil Anda
menemui keripik-keripik ini di warung kelontong, minimarket, bahkan
toko oleh-oleh. Kebanyakan keripik populer ini dijual melalui jaringan
pemasaran langsung (reseller). Nah, sebagian reseller ini heboh
memasarkan dagangan lewat beragam media sosial, seperti Facebook,
Twitter, Kaskus, dan jaringan milis yang mereka ikuti.
Pemasaran seperti ini, menurut Yana, terbukti manjur. Logika yang
dia pegang, konsumen akan berpikir bahwa jika seseorang berani
merekomendasikan keripiknya, tentu mereka sudah pernah mencicipi dan
puas.
Tak hanya di sini kreativitas mereka berhenti. Agar semakin unik,
mereka juga menjuluki para reseller ini dengan sebutan-sebutan lucu.
Kribo menyebut para reseller dengan julukan “dosen”. Sedangkan
Maulana dan tim menjuluki diri mereka dengan panggilan “dekan”. Begitu
pula dengan Karuhun yang memanggil para reseller mereka dengan sebutan “patih”.
Rela berbagi margin
Agar mampu menarik minat calon reseller, para produsen ini rela
berbagi margin sehingga keuntungan mereka tak setebal umumnya bisnis
makanan yang lain. Maulana cuma menyisir laba 25% dari omzet. “Saya
mengambil dari jumlah yang mampu saya jual,” kata dia. Karuhun malah
hanya menyisir untung bersih 10%–20% dari total penjualan.
Dengan mengambil margin tipis, mereka memberi kesempatan kepada para
reseller untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Sekadar gambaran,
harga jual Karuhun kepada para reseller sekitar Rp 9.000 per
bungkus. Oleh para patih, Karuhun dijual ke konsumen seharga Rp
15.000–Rp 18.000 per bungkus. Demikian pula dengan Kribo. Harga kulakan
para dosen Rp 7.500–Rp 10.000 per bungkus, tetapi mereka menjual ke
konsumen Rp 12.000–Rp 15.000 per bungkus.
Cara ini terbukti membuat jangkauan pasar mereka meluas. Sekarang
jaringan pemasaran Karuhun sudah mencapai luar kota, bahkan sampai luar
negeri. Reseller Karuhun mencapai 400 orang. Adapun Kribo sudah
menjangkau sedikitnya 10 kota. “Antara lain Semarang, Surabaya, dan
Balikpapan,” ujar Maulana, bangga.
Tahap penting bisnis strategi pemasaran seperti ini tentu saat
mengenalkan produk ke pasar. Nah, awalnya, para produsen ini melakukan
tes pasar. Setelah yakin bakal mendapat sambutan hangat, mereka
menawarkan keripik kepada teman, saudara, atau rekan kerja. Dari sana,
lambat laun mulai muncul orang yang menawarkan diri untuk menjadi
reseller.
Cara lain yang efisien adalah menjualnya di pusat keramaian. “Saya pertama kali menjual di Bandung saat ada car free day,” tutur Yana. Kemasan produk yang menarik juga dibuat oleh Yana agar pembeli berminat.
Rasa pedas keripik singkong memang menjadi daya tarik pelanggan
Maicih. Tapi, Yana ogah asal mengekor reputasi pedas itu. Agar menarik
pelanggan, dia memilih memberikan citarasa berbeda, yaitu menggunakan
daun jeruk purut sebagai campuran rasa pedas. “Kami juga menggunakan
singkong berkualitas sehingga lebih renyah,” kata Yana.
Adapun Maulana tak hanya menawarkan keripik singkong, dia juga
menjual keripik ubi, opak, dan beberapa produk lain. “Saya coba
menawarkan makanan khas dari daerah Bekasi,” dalihnya.
Ada dua pilih model produksi, kalau Anda ingin memulai bisnis ini. Pertama, menyerahkan
proses produksi keripik kepada orang lain. Kalau menyerahkan produksi
keripik pedas kepada orang lain, gandenglah pembuat yang tepercaya
sehingga kualitas terjaga. Dengan cara ini, Maulana hanya bermodal Rp 11
juta saat memulai bisnis ini, termasuk untuk tester dan promosi.
Pilihan kedua, Anda memproduksi sendiri seperti Yana. Anda leluasa
berkreasi dengan produk, namun modal yang dibutuhkan lebih gede.
Tertarik? Sreeeeng…!
Sumber: Kontan
Sumber: http://pengusahamuslim.com
No comments:
Post a Comment